Medan- wartaindonesia.org- Kedengarannya cukup fantastis dan aneh, menjadi sebuah pertanyaan besar bagaimana sekumpulan serigala dapat mengembalikan ekosistem secara alami di Taman Nasional Yellowstone, Amerika Serikat. Kisah ini bermula pada 1 Maret 1872 oleh Presiden Amerika Serikat, Ulysses S. Grant, menandatangani Undang-Undang tentang mendirikan Taman Nasional Yellowstone, menjadi Taman nasional pertama di dunia, bertujuan untuk melindungi keindahan alam nya, termasuk geyser, air panas, satwa liar, dan lanskap yang luar biasa.
Pendirian taman ini menjadi tonggak penting dalam sejarah konservasi alam, sekaligus menciptakan model untuk sistem taman nasional di seluruh dunia.
Ketika taman nasional Yellowstone didirikan belum ada perlindungan hukum bagi satwa-satwa liar.
Pada tahun-tahun awal berdiri, para administrator, pemburu dan wisatawan bebas membunuh hewan buruan atau predator apa saja yang mereka temui.
Dari sinilah bermula bahwa serigala abu-abu sangat rentan terhadap pembunuhan yang tidak beralasan, karena dianggap predator yang sengaja dimusnahkan di wilayah Amerika utara.
Pada bulan Januari 1883, waktu itu mendagri Amerika Serikat Henry M. Teller mengeluarkan peraturan yang melarang perburuan sebagian besar hewan taman, aturan tersebut tidak berlaku bagi serigala, anjing hutan, beruang, singa gunung.
Tahun 1885, Kongres membentuk Divisi Ornitologi Ekonomi dan Mamalogi dengan tujuan melakukan penelitian ilmiah demi perlindungan satwa liar.
Badan tersebut yang selanjutnya menjadi cikal bakal Dinas Perikanan dan Satwa Liar AS. Tahun 1907, di bawah tekanan politik dari industri peternakan dan sapi.
Badan ini memiliki program pengendalian predator terpadu.
Program ini juga yg mengakibatkan kematian secara tragis 1.800 serigala, 23.000 anjing hutan di 39 hutan nasional AS pada tahun 1907 saja!!!!
Tragedi pembunuhan terhadap predator seperti serigala di taman nasional Yellowstone adalah salah satu episode penting dalam sejarah ekologi.
Selama akhir abad ke – 19 hingga awal abad ke – 20, serigala dianggap sebagai ancaman bagi manusia, dan ternak, karena itu program pemusnahan predator secara sistematis dilakukan oleh pemerintah dan penjaga taman.
Pada awal tahun 1990-an, para penjaga dan pemburu membunuh serigala di Yellowstone dengan tujuan melindungi ternak dan mengontrol populasi satwa. Serigala terakhir di bunuh di taman tersebut pada tahun 1926.
Dampak ekologis dari pembunuhan serigala sebagai predator puncak menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem.
Populasi herbivora, seperti rusa besar (elk), melonjak tanpa kontrol alami, pada gilirannya merusak vegetasi dan habitat lainnya.
Mereka memakan tumbuhan secara berlebihan terutama di sepanjang sungai dan padang rumput.
Musnahnya serigala menyebabkan vegetasi seperti pohon willow, aspen, dan kapas tidak dapat tumbuh optimal karena rusa memakan tunas dan daun muda.
Selain itu terjadi Degradasi Habitat, kerusakan vegetasi berdampak pada spesies lain, seperti burung-burung, dan berang-berang yang membutuhkan kayu untuk membangun bendungan.
Hilangnya vegetasi di sepanjang sungai menyebabkan erosi tanah yg mengganggu aliran air, merusak habitat ikan serta spesies akuatik lain.
Tanpa serigala, predator menengah menjadi dominan untuk memangsa lebih banyak hewan kecil seperti tikus, kelinci, hal ini menyebabkan gangguan pada rantai makanan.
Langkah Pemulihan:
Reintroduksi
Pada 1995-1996 serigala diperkenalkan kembali ke Yellowstone, 31 ekor predator tersebut dilepaskan ke taman nasional Yellowstone. Pemulihan ini memberikan dampak besar pada ekosistem termasuk, pengendalian populasi Rusa Elk, serta pemulihan tumbuhan seperti willow dan aspen bersemi kembali.
Efek Trophic Cascade
Serigala menciptakan trophic cascade (rangkaian efek ekologis) yang membantu memulihkan ekosistem secara keseluruhan.
Hasil Pemulihan
Reintroduksi serigala di Yellowstone adalah contoh sukses pemulihan ekosistem melalui pendekatan ekologis berbasis predator puncak.
Langkah ini menunjukkan bahwa peran predator dalam menjaga keseimbangan alam sangat krusial, menjadi role model dalam melestarikan lingkungan.
Keseimbangan ini memberikan kesempatan bagi generasi mendatang untuk menikmati kekayaan alam dan mempelajari pentingnya interaksi ekosistem.
Ketika suatu daerah tidak menjaga ekosistem nya berbagai dampak buruk akan dapat terjadi di antaranya:
Kehilangan keanekaragaman hayati, erosi, kekeringan atau banjir dan longsor, penurunan hasil pertanian, perubahan iklim, perubahan pola cuaca berkontribusi pada ketidakseimbangan iklim global dan lain sebagainya.
Pertanyaan Besar.
Di masyarakat kita termasuk pemangku kepentingan tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem, contoh yang jelas di depan mata kita
Lahan yang seharusnya ditanam mangrove beralih fungsi menjadi tanaman sawit.
Pembangunan infrastruktur tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan dan lain sebagainya.
Untuk itu perlu pemerintah, Legislatif, Dunia Usaha, Akademisi, komunitas, dan media duduk bersama merumuskan hal-hal kongkrit sehingga dapat memitigasi kejadian yang tidak kita inginkan bersama.
Oleh: Abdul Aziz
Pemerhati Lingkungan