Scroll untuk baca artikel
#
OpiniWorld Corner

DPR Bikin Sistem Pengaduan, Tapi Aspirasi Rakyat Hanya Jadi Ilusi

152
×

DPR Bikin Sistem Pengaduan, Tapi Aspirasi Rakyat Hanya Jadi Ilusi

Sebarkan artikel ini
DPR Bikin Sistem Pengaduan, Tapi Aspirasi Rakyat Hanya Jadi Ilusi

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kerap menonjolkan diri sebagai “wakil rakyat” yang mendengar aspirasi publik. Mereka memamerkan sistem pengaduan online dengan teknologi modern, lengkap dengan nomor tiket, dashboard progres, hingga alur birokrasi digital. Namun di balik gemerlap jargon modernisasi itu, sistem yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi rakyat malah berubah menjadi labirin birokrasi.

Suara rakyat tersangkut, sementara anggaran puluhan miliar rupiah justru lebih tampak sebagai simbol formalitas ketimbang instrumen nyata.

Sistem Pengaduan: Jembatan atau Labirin?

Ruben Cornelius Siagian, peneliti independen dan warga Jawa Barat, mengalami langsung paradoks ini. Ia mengajukan pengaduan agar RUU Masyarakat Adat segera disahkan, sebuah tuntutan yang menyangkut hak konstituen dan pengakuan hukum bagi masyarakat adat. Namun hampir dua tahun berlalu, pengaduannya mandek di meja pimpinan DPR.

Nomor tiket digital hanya berhenti pada status “Berkas diteruskan ke Ketua DPR.” Tidak ada tindak lanjut, tidak ada transparansi. Bagi Ruben, sistem ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan simbol hilangnya tanggung jawab moral DPR. Alih-alih mempermudah rakyat, rantai birokrasi panjang dari pimpinan DPR → Alat Kelengkapan Dewan (AKD) → Sekretariat Jenderal → Ketua DPR justru menjadi penghambat.

Aspirasi Nyangkut, Kantong DPR Menggembung

Ironi semakin tajam ketika melihat kontras kondisi rakyat dan anggota DPR. Sementara pengaduan publik tak kunjung ditanggapi, anggota DPR menikmati kenaikan gaji hingga Rp 3 juta per hari, ditambah tunjangan dan kompensasi penghapusan fasilitas rumah dinas. Ruben menilai prioritas DPR lebih condong pada kemewahan pejabat daripada empati dan tanggung jawab moral.

Bagi rakyat, sistem pengaduan digital hanyalah panggung formalitas, seperti “Kami mendengar, tapi tidak bertindak.” Harapan rakyat dipaksa berdiam dalam dashboard steril, sementara wakil rakyat menumpuk keuntungan materi.

READ  PSGA LP2M UIN Sumatera Utara Medan Gelar Sosialisasi Pencegahan dan Perlindungan Kekerasan Seksual bagi Program Studi

Ilusi Demokrasi Digital

Fenomena ini memperlihatkan hilangnya integritas moral DPR. Platform digital yang dibangun dengan biaya besar seolah menjadi alat legitimasi politik yang memberi kesan ada partisipasi rakyat, padahal respons nyata nihil.

Menurut Ruben, kasusnya hanyalah satu dari banyak. Pengaduan tentang isu sosial, hak konstituen, dan kebijakan publik mendesak sering kali berakhir sama: tersedak birokrasi, tersangkut di meja pimpinan, atau hilang dalam “status diteruskan.” Sistem yang seharusnya memperpendek jarak rakyat dengan legislatif justru memperpanjang birokrasi dan menciptakan ilusi kepedulian.

Paradoks DPR: Prioritas Salah, Moral Hilang

Paradoks DPR bukan hanya soal teknis sistem pengaduan, tetapi juga soal budaya politik. Alih-alih mendengar dan menindaklanjuti aspirasi, DPR lebih sibuk mengamankan tunjangan, fasilitas, dan posisi strategis. Kritik dianggap gangguan, bukan panggilan moral.

Keterlambatan RUU Masyarakat Adat menjadi bukti pahit. Mandeknya pengaduan ini bukan sekadar kegagalan prosedur, melainkan kegagalan moral. DPR lebih peduli pada protokol formal ketimbang hak masyarakat adat yang nyata. Dengan demikian, sistem pengaduan digital tak lebih dari janji kosong yang menutupi ketidakpedulian.

Penutup

Kasus Ruben Cornelius Siagian menyingkap paradoks tajam DPR, bahwa membangun sistem canggih, menghabiskan anggaran miliaran, tapi aspirasi rakyat tetap terjebak. Formalitas digital tidak pernah bisa menggantikan tindakan nyata.

Jika DPR benar-benar ingin disebut sebagai wakil rakyat, maka diperlukan revolusi budaya birokrasi yaitu transparansi, tanggung jawab moral, dan tindak lanjut nyata. Tanpa itu, sistem pengaduan hanyalah ilusi demokrasi digital, bahwa layar penuh status tanpa progres, sementara rakyat tetap menunggu dan wakil rakyat tetap menikmati kemewahan.

“Jika DPR benar-benar peduli pada rakyat,” tegas Ruben, “mengapa aspirasi sahih bisa bertahun-tahun tersangkut di meja pimpinan? Bukankah sistem pengaduan digital seharusnya mempermudah, bukan menghalangi hak rakyat?”