Medan-Wartaindonesia.org. Pakaian kotor tertumpuk diruang cuci, sudah tiga hari terendam dalam ember, terasa aroma rendaman pakaian menyengat ujung hidung. Tina putri pak Hadi Margono belum sempat melaundrynya. Kesibukannya sebagai wanita karir dan seorang istri dengan tiga anak terkadang sering melalaikan tugas ibu rumah tangganya. Pembantu sudah hampir seminggu izin pulang kampung.
Pak Hadi, hanya bisa memandang, laundry pekerjaan yang hampir tidak pernah dilakukannya, lebih dari separoh hidupnya dilayani. Walau tersedia mesin cuci namun ia tak tahu bagaimana menggunakannya. Tiba-tiba sesosok tubuh muncul dari balik pintu teras. Lelaki tua dengan tubuh kurus, di sampingnya berdiri seorang laki-laki berumur duapululima tahunan.
“Assalamualikum “, sapanya,” Waaalaikumsalam” jawabnya singkat “siapa ?“, jawab pak Hadi.“ Maaf ya, Tina, suami dan anaknya keluar kota”, kata pak Hadi lagi, “ bukan…, kami tidak sedang ingin bertemu mereka, justru kami ingin bertemu dengan-mu”, jawab tamu itu lagi. Pak Hadi ragu-ragu menerima mereka, namun sang tamu sudah dekat dengan pintu, “masuklah”, jawab pak Hadi.
Baca juga : Diduga Melakukan Kejahatan Pers, Oknum Sekdes Di Lapang Dilaporkan Ke Polres Aceh Utara
Dipersilakannya duduk, bertanya-tanya dalam hati, siapa mereka ?.“Aku teman masa kecilmu dan ini putra bungsuku, Zufri”. “Aku tetangga dekat rumahmu dikampung. Di bawah pohon membal kita selalu bermain kelereng. Tidak jauh dari tepi sungai Kahean,” katanya memperkenalkan diri. “oh”, kataku dalam hati. Itu peristiwa puluhan tahun lalu. Ketika usia kita lima atau enam tahun barangkali,“ ujar Pak Hadi tersenyum sambil mengangguk-angguk.
Dalam usia yang sudah melampaui enam puluh lima tahun ini, ingatannya mulai rapuh. Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benaknya. “apa rumahmu dekat rumah kepala Desa kita?”, kata pak Hadi. Ia mengangguk. “Kalau begitu, kau ini si Martonggo?,anak Tulang Maruli,”ya,” jawabnya dengan wajah yang mulai cerah. Dipeluk pak Hadi dengan erat,“sudah lama sekali kita tidak bertemu, apa kabarmu” kata pa’ Hadi sambil melepas pelukan. “dua puluh tahun lalu suratmu masih kuterima, hampir setiap tahun kau kirimkan kartu lebaran, namun jarang kubalas, kesibukan sebagai hakim, melalaikan persahabatan kita”, ujar Pak Hadi.
Pertemuan singkat itu berlalu dalam bilangan tahunan. Masing-masing sibuk dengan urusan sendiri. Dan ketika pak Hadi berkunjung ke Siantar, Martonggo terbaring di tempat tidur, di ruangan VIP RS Vita Insani. Beberapa selang oksigen di hidungnya. Tak satupun anaknya yang hadir menjaganya. Masing-masing jauh, Bharata putra sulungnya di-Canberra Australia, Tina putrinya di-Amsterdam, Maratua di Kopenhagen dan sibungsu Zupri ditugaskan dikota Sorong. Hanya keponakannya yang menungguinya. Ia bernapas dengan bantuan oksigen. Matanya berkaca-kaca sambil mulutnya berkata, “kudengar kau datang, beginilah keadaanku, sudah berbulan-bulan aku terbaring.” ujarnya. Kulihat agak sulit ia berbicara. Dadanya tampak sesak ketika bernapas.
Baca juga : Dari Senayan ke Kota Medan : Bagaimana Hidayatullah Membawa Kemajuan ?
Dalam kesibukan, waktu jua yang memberi khabar. Seorang kerabat dekat, waktu berjumpa di Jakarta, berbisik, “Pak Martonggo sudah tiada, pada usia yang ke-72, tak seorang anak pun yang menemaninya saat sakratulmaut.” “Innalillahiwainnailaihirojiun,” ucapku. Usia kami terpaut bulan. Kami lahir dan dibesarkan didesa Sei Kaheian kota Pematang Siantar. Usia telah ditelan waktu! Giliran? Pasti bergilir, bisik batin pak Hadi, siapakah setelah itu. “akukah”, gumannya.
Beberapa waktu kemudian, Pak Hadi mendapat postingan WA dari anaknya yang sedang wisata ke Bali. Khairunnisa saudara sepupunya, meninggal dunia. Tutup usia ke-63 tahun. Khairunisa seorang pengusaha kaya yang hidup mati demi kariernya. Ia lupa kapan ia pernah disentuh rasa cinta. Diakhir usianya tak seorangpun mendampinginya, sepi sendiri ditengah gelimpangan hartanya yang tak terkira.
Dalam kesendiriannya, tiba-tiba dering di HP mengagetkan Pa’ Hadi, sebuah WA dengan pesan singkat, “Ayah,…,bu’le Sumiati meninggal dunia di Jogya”. Sumiati adik yang kecil dari keluarga paman, menyusul suaminya, dalam usianya yang ke-65.
Singkatnya waktu, saat Prof. Dr. Hadi Margono,SH mengabdi sebagai pegawai negri di Departemen Kehakiman. Sebagai Hakim Agung, apa saja rasanya mudah didapat. Pangkat, kehormatan, harta, berupa kendaraan terbaru, rumah-rumah besar, ladang-ladang dan ternak dan berbagai kemewahan lainnya, mudah sekali ia mendapatkannya.
“Kini diusiaku yang sudah 78 tahun, jejak kebajikan apa yang sudah kutorehkan dalam hidup ini dan kebajikan apa pula yang kutinggalkan sebelum tiba giliranku menghadap-Nya?”, gumannya membatin. “Jangan-jangan kehadiranku kedunia ini tak lebih sebagai pecundang. Amal apa yang akan kubawa ?.Semakin pak Hadi merenung, semakin dalam sakit menusuk-nusuk dadanya. Dalam kesendiriannya, Prof.Dr. Hadi Margono, SH risau diujung senja.
Penulis : Tauhid Ichyar
Pemerhati Lingkungan Hidup