Wartaindonesia.org. – Ahad pagi kuantar istri belanja ke pusat pasar tradisional. Belanja untuk kebutuhan harian rumah tangga sekalian keperluan bulanan. Dengan srigap Yuni istriku bergegas keluar dan menarik keranjang dari bagasi belakang. “Parkirnya jangan terlalu jauh mas, dipojokan sana dekat kios beras” kata istriku, lalu berjalan meninggalkanku.
Dipasar aku ketemu dengan jiran satu RT yang sedang berbelanja,“ tumben nih mas Indro, ikutan istri belanja, ….,” sapa bang Husni tetangga depan rumahku,” Iya bang, mumpung sempat…, sudah lama enggak bisa ngantar istri belanja,… selesai belanjanya bang” jawabku,“sedikit lagi Ndro, ada beberapa pesanan kakak tadi, daun ubi dan kelapa yang diparut, biasalah Ndro…..,langganan wajib kami dirumah, daun ubi tumbuk”, jawab bang Dollah sumringah. Daun ubi tumbuk, memang sayur favorit, sayur kebangsaan kata sebagian teman-teman kerjaku, murah meriah dan penuh energi.
Aku kurang suka belanja dipasar tradisional, becek, bau menyengat, sampah dimana-mana, panas dan tidak teratur. Aku lebih memilih Plaza, atau pusat perbelanjaan mewah memenuhi kebutuhan bulanan. Disana bersih, sejuk dan teratur, walau terkadang harus membayar harga lebih.
Kuayunkan kaki meninggalkan bang Dollah, sambil memandang kearah kiri dan kanan mencari-cari anjungan ATM. Tepat bersebelahan los-los kios buah kulihat sebuah ruko dengan khas warna kuning & ungu, namun terhalang tenda biru kios buah. Setiap bulan Perusahaan memberikan gaji lewat transefer Bank, kucoba untuk mengecek saldo rekening.
Di depan anjungan ATM, kumasukkan kartu kedalam mesin autodebit. Masukan password, tekan tombol informasi, klik saldo tabungan. Sesaat kemudian muncul beberapa digit angka yang membuatku sumringah senyum kecil sambil bersiul-siul.
Uang gaji ditambah uang cuti sudah masuk ke dalam rekening. Kutarik sejumlah uang dalam bilangan jutaan rupiah dari ATM. Pecahan ratusan ribu berwarna merah kini menambah ketebalan dompetku yang mulai menipis diakhir bulan.
Baca Juga :Hutan Mangrove Penyanggah Lingkungan Alami
Pecahan warna yang sama dengan nilai berbeda, kutarik dari dompet. Uang itu kemudian kulipat dua untuk kuserahkan dengan wanita pengemis yang sedari tadi berdiri dekat pintu anjungan ATM bersama putrinya yang masih kecil. Sesaat lembaran lima puluh ribu telah berpindah kewanita pengemis. Ia begitu terkesima mamandangku, seperti tak yakin melihat nilai uang yang diterimanya, betapa bersukacita dirinya.
Ia pun berucap syukur kepada Allah dan berterima kasih kepadaku dengan kalimat-kalimat penuh keihklasan “Alhamdulillah…pak,.. Alhamdulillah.. ya Allah., terima kasih banyak pak, semoga Allah memberqahi rezeki yang besar dan berlipat ganda kepada bapak dan keluarga. Rumah tangga harmonis dan anak-anak yang berakhlak. Do’anya menerima sedeqahku. Aku terperanjat, belum pernah aku mendengar do’a sepanjang itu setelah memberikan sesuatu, apakah itu kepada anak-anak, istri, atau siapapun.
Wanita pengemis tadi sungguh membuatku terperanjat terpukau dan menghentikan langkah kakiku. Dengan suara berbisik kudengar wanita itu berkata kepada putri kecilnya yang sedang menangis, lapar mak,…lapar mak, Alhamdulillah anak ”, ujar pengemis itu lirih, setelah semalaman kau lapar nak, jangan nangis lagi, kita beli nasi,” ujarnya lagi pada putrinya yang masih menangis. Hatiku bagai tersayat mendengarnya. Kuperhatikan terus langkah kaki mereka kemana mereka pergi meninggalkanku, sampai mereka menghilang kearah tenda kuning warung nasi sarapan pagi.
Aku masih terdiam dan terpana dipintu anjungan ATM, sampai seseorang mengagetkankku. “eh mas, sudah selesai belanja kita, nih tolong bawain,” ujar Yuni istriku yang tiba-tiba sudah berada didekatku. Aku tak sanggup membendung air mataku yang mulai berkaca-kaca. Yuni istriku terheran-heran memandangku. ” Ada apa mas?,” Istriku bertanya keheranan.
Baca Juga : Keangkuhan Diri
Dengan suara yang agak berat dan terbata kujelaskan: “Enggak apa-apa Ma, tadi ada pengemis dan anaknya menangis, aku memberikan sedekah lima puluh ribu rupiah,” kataku pada istriku. “lho, kenapa begitu besar mas, hanya untuk seorang pengemis, mestinya limaribu sudah cukup”, ujar istriku.
Istriku selama ini selalu tidak setuju memberi sedeqah kepada pengemis jalanan, tidak mendidik katanya, dan mereka terorganisir oleh tangan-tangan preman. “Mama,…kamu tahu enggak…, ketika tadi aku memberi sedekah kepadanya uang senilai itu, ia berucap hamdalah berkali-kali. Tidak saja ia mendoakan aku, bahkan mendoakanmu dan anak-anak kita.
Coba kamu pikir, saat diterimanya sedeqahku limapuluhribu saja sudah sedemikian besarnya Ia bersyukur ”, kataku pada istriku. “Padahal ketika dianjungan ATM kucek saldo dan ternyata di sana ada sejumlah uang yang mungkin puluhan bahkan ratusan kali lipat dari apa yang kuberikan padanya, aku biasa saja, hanya mengangguk-angguk lalu tersenyum bahkan terkadang berguman, “ah cuma segini ”, aku lupa bersyukur kepada-Nya.
“Ma…, aku malu kepada Allah, sementara pengemis tadi menerima hanya selembar uang limapuluhribu begitu besarnya rasa syukurnya kepada Allah. Kalau memang demikian, siapakah yang pantas masuk ke dalam surga-Nya, apakah dia yang menerima limapuluhribu dengan syukur yang luar biasa, ataukah kita yang menerima begitu banyak namun sedikit sekali bersyukur,” kataku pada Yuni istriku.
Baca juga : Saat Ayah Tak Kembali Lagi
Yuni Istrikupun merenungi atas apa yang kualami beberapa saat tadi dan mulai menyadari kurangnya kami bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya. Padahal begitu banyak nikmat yang dianugrahkan-Nya, pekerjaan, rumah bagus, punya kendaraan mutahir, simpanan dibank memadai, tanah kaplingan, anak-anak yang sehat & cerdas, rumah tangga sejahtera. Nikmat manalagi yang kau ingkari wahai Yuni, wahai Indro.
“Ya Allah, ampunilah kami, kamilah hamba-Mu yang kerap lalai atas segala nikmat-Mu, janganlah kau azab kami atas kelalaian kami selama ini. Jadikanlah kami golongan hamba-Mu yang mendapat petunjuk dan hidayah-Mu dan pandai mensyukuri segala Nikmat-Mu.
Penulis : Tauhid Ichyar
Pengurus PERSIS Sumatera Utara